Berikut ini tips dan saran dalam menerapkan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) menurut Sumardyono,M.Pd seorang ahli pendidikan.
A.
Mulailah Dengan Soal yang Sederhana-Menarik-Proporsional
Ada tiga ciri
soal yang disarankan di sini:
1. Sederhana
Soal yang
sederhana dalam tampilan dan memiliki tingkat kesulitan pengerjaan yang sedang.
Jika soal terlalu mudah (trivial)
akan membuat siswa merasa remeh dengan
pelajaran, namun jika terlalu sukar akan membuat siswa enggan untuk terlibat terlalu dalam.
2. Menarik
Soal yang
menarik bagi siswa biasanya soal-soal yang alamiah, artinya memiliki
konteks kehidupan nyata (real-life).
Tidak menutup kemungkinan,
juga soal-soal
yang bernuansa teka-teki (puzzle).
3.
Proporsional
Soal yang
proporsional dimaksudkan sebagai soal yang sesuai dengan taraf kemampuan
siswa. Banyak soal-soal problem solving yang
menarik namun
membutuhkan
penyelesaian akademik tingkat lanjut (konsep-konsep
matematika
tinggi) sehingga tidak cocok untuk digunakan. Untuk ini kita
seharusnya
memahami tentang: siswa di kelas berapa? prasyarat sudah
dipunyai atau
belum? Barangkali juga, apakah sarana atau media yang
diperlukan sudah tersedia atau belum?
B.
Berhati-Hatilah Terhadap Soal yang Tidak Tepat
Kita
seharusnya selalu melakukan check and re-check terhadap
soal yang dibuat, apakah
data dan informasi dalam soal sudah benar, juga apakah pernyataan dalam soal
tidak menimbulkan intepretasi yang keliru.
”the role of
reading in
problem
solving is important enough that teachers of science and mathematics
should
not ignore the linguistic aspects of problem solving... ”
(peran membaca dalam
pemecahan masalah adalah cukup penting sehingga guru matematika dan
IPA seharusnya
tidak mengabaikan aspek kebahasaan dari pemecahan masalah),
demikian
ditegaskan David A. Thomas (1992:263-264). Sekali siswa salah
menafsirkan
masalah karena kalimat soal yang membingungkan, maka selanjutnya
kita tidak
dapat berharap siswa akan menjawab persoalan secara memuaskan.
C.
Mintalah Siswa Mengemukakan Kembali Masalah dengan Kata-Kata Sendiri
Salah satu
tips untuk mengukur apakah siswa telah memahami masalah dengan baik adalah
dengan meminta siswa mengungkapkan kembali masalahnya dengan kata-katanya
sendiri.
Thomas (1992:267) menyatakan: “A simple strategy
for
focusing
a class’s attention on this aspect of problem solving ... (the meaning of
problem
statement – penulis) .. is to have students restate the entire problem in
their
own words” (strategi sederhana untuk mengarahkan
perhatian para siswa pada
aspek
pemecahan masalah ini ... adalah dengan meminta siswa menyatakan
kembali keseluruhan masalah dengan kata-katanya sendiri).
D.
Sesekali Pergunakanlah Soal yang Tak-Lengkap
apa yang dapat
dilakukan siswa untuk menjawab soal tersebut.
Dengan memberi
soal yang datanya tidak lengkap, kita ingin membelajarkan siswa untuk
selalu kreatif menghadapi masalah. Dengan data yang tidak lengkap,
Contoh
sederhana.
Panjang dua
buah sisi sebuah segitiga adalah 4 cm dan 6 cm. Tentukan keliling dan
luas segitiga
tersebut!
Terhadap
masalah di atas, biasanya siswa menanggapinya sebagai soal yang
“tidak ada jawaban”. Namun
seharusnya siswa mengakomodasi masalah itu dengan
memisalkan panjang
sisi yang lain misalnya p.
Jika keliling dan luas segitiga
berturut
dimisalkan dengan K dan L,
maka:
K
= 10 + p, atau karena 0 < p
< 10 maka 0 < K
< 20.
Untuk L,
luas terkecil (asimtotik) bila p =
0, sedang luas terbesar bila p merupakan
sisi miring segitiga siku-siku.
Jadi, 0 < L < 12.
E.
Pergunakanlah Soal dengan Jawaban atau Cara Penyelesaian yang Tidak Tunggal
Umumnya
soal-soal rutin atau tradisional diberikan berdasarkan text-book
dan itu adalah
soal-soal dengan jawaban tunggal dan dengan cara penyelesaian yang
tunggal. Oleh
karena itu, kita perlu memberikan soal-soal dengan penyelesaian
yang tidak
tunggal dan/atau dengan cara penyelesaian yang tidak tunggal.
Soal-soal yang
demikian menjadi penting karena beberapa hal:
1. Untuk
memberi wawasan baru kepada siswa tentang ragam masalah.
2. Untuk
melatih keterampilan pemecahan masalah.
3. Untuk
memberi kesempatan siswa berkomunikasi aktif dan bernegosiasi dengan baik.
4. Untuk
melatih siswa mengemukakan argumentasi dan pembenaran (justifikasi).
5. Untuk
melatih siswa menerima pendapat orang lain.
F.
Berilah Kesempatan kepada Siswa dengan Membantu Seperlunya Saja
Dengan kata
lain yang lebih singkat: perbanyak bertanya, kurangi
memberi
tahu.
Kiranya perlu kesadaran dan kemauan yang keras untuk melakukan hal ini,
karena umumnya
telah menjadi kebiasaan kita (baca: guru) untuk berceramah dan
tidak puas
dengan jawaban siswa.
siswa diberi
kebebasan untuk mengalami sendiri persoalan yang dihadapi dan
Kita biasanya bermetapora sebagai “gudang ilmu”.
Sekarang mulailah bermetapora sebagai “gudang pancingan”. Hendaknya
merasakan
pengalaman dalam menemukan jawabannya. Sesungguhnya inilah tip
terbesar untuk suksesnya
pembelajaran problem solving.
Taplin (2000)
mengutip pendapat Lester, et al bahwa ciri penting pembelajaran
dengan
pendekatan pemecahan masalah adalah bahwa guru mengetahui kapan
sebaiknya guru
campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa menggunakan
caranya
sendiri.
Di lain pihak
siswa perlu juga diperkenalkan dengan soal menantang yang
tidak terlalu
sulit, agar siswa memiliki kemauan yang keras untuk memecahkannya.
Hermenberger
& Reichel (dalam Posamentier, 1996:201) menyatakan lebih lanjut:
“Students
must have various opportunities to get down to easier problems
themselves
so that they get a chance to think about them and to develop solutions
themselves
(maybe with some minor hints)” (siswa harus diberi
beragam
kesempatan
untuk menyelesaikan masalah yang lebih mudah agar mereka
mendapat kesempatan
untuk berpikir keras dan mengembangkan penyelesaian
sendiri).
Jika kita
tidak memberi kesempatan yang luas kepada siswa, itu sama saja
berarti kita
masih berpandangan guru-sentris (teachers centered).
Jika demikian
maka apa yang
sering terjadi akan tetap terjadi: suasana kelas didominasi guru dan
siswa tidak
memahami pelajaran.
Hal ini yang diingatkan oleh Umran Inan (dalam
Plooster,
1997:1) dengan mengatakan: "The worst thing
that can happen is to go
along
through a full hour without any questions. That might mean two things: a
very
remote possibility that you are extremely clear, but more often than not that
you
are not clear at all." (hal terburuk yang dapat terjadi
selama keseluruhan
pembelajaran
adalah tanpa ada pertanyaan apapun. Ini dapat berarti dua hal:
penjelasan
yang amat jelas dari Anda, namun yang lebih sering adalah bahwa
penjelasan
kita tidak dipahami sama sekali).
G.
Pergunakanlah Model Diskusi
Untuk membuat
siswa terlibat secara aktif dalam proses pemecahan masalah,
maka dapat
ditempuh cara diskusi baik dengan bimbingan langsung guru
(classroom
discussion) maupun diskusi kelompok-kecil (small-group
discussion).
Namun bila
memungkinkan, cara diskusi pada kelompok kecil lebih disarankan,
karena dapat
melatih keberanian siswa untuk mengemukakan pendapat, meningkatkan kepercayaan
diri, melatih untuk berkomunikasi dan bernegosiasi,
serta yang
terpenting pengetahuan dan konsep terbentuk dengan pengalaman siswa
sendiri.
Moyer, Cai, & Gramp dalam McIntosh, R. & Jarret, D. (2000:6)
menyatakan “The
active and varied nature of problem solving helps students with
diverse
learning style to develop and demonstrate mathematical understanding”
(pemecahan
masalah yang aktif dan bervariasi membantu siswa dengan beragam
gaya belajar
untuk mengembangkan dan menunjukkan pemahaman matematika).
H.
Pertimbangkan Bantuan Alat Peraga Matematika
Penggunaan
alat peraga atau alat manipulatif memiliki nilai lebih dalam
pembelajaran
matematika. Paling tidak manfaat pertama yang dapat diraih adalah
perhatian dan
motivasi siswa.
“Manipulatives quickly get students involved
in
learning
process” (alat peraga secara cepat melibatkan siswa
ke dalam proses
belajar),
demikian ditegaskan Maletsky dalam Posamentier (1987:187).
Dalam pembelajaran
dengan pemecahan masalah, pemilihan alat peraga pertama-tama
ditujukan
untuk menyajikan masalah dan yang sering digunakan adalah alat-alat
peraga
permainan dan teka-teki, tidak terkecuali untuk SMA.
I.
Pergunakanlah Kegiatan di Luar Jam Pelajaran
Sekali-kali
gunakan kegiatan di luar jam pelajaran untuk menjaga kesadaran
dan memberi
kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk mengembangkan
kemampuan
memecahkan masalah.
Untuk itu
dapat dicoba beberapa alternatif kegiatan berikut ini.
1. Gunakan tugas-tugas
proyek yang berkaitan dengan soal-soal pemecahan masalah.
2. Fasilitasi
majalah dinding yang mengupas pemecahan masalah oleh siswa sendiri.
3. Beri tugas
kepada siswa untuk mendapatkan soal-soal non-rutin atau yang tidak dapat dipecahkan oleh siswa
sendiri.
J.
Pertimbangkan untuk Menggunakan Pendekatan Langsung
Kebiasaan kita
(guru) yang sering terfokus pada materi bahasan sering
memalingkan
kita pada tema pemecahan masalah (problem solving).
Hal ini diingatkan
oleh Posamentier & Stepelman (1999:99), “Unfortunately,
not enough
attention
is being paid to problem solving; most of a teacher`s attention is still
focused
on the topics to be covered in the syllabus.”
Jadi, jika
memang memungkinkan
maka kita perlu melakukan pembelajaran tentang teknik dan
strategi
pemecahan masalah. Hal ini perlu agar siswa dapat memiliki keterampilan
yang dapat
ditransfer pada konteks yang berbeda-beda, dalam dunia akademik
maupun
kehidupan sehari-hari.
Thomas
(1992:271) menegaskan hal tersebut dengan menyatakan: “teaching
problem-solving
skills ia an important part of a mathematics teacher’s job
description.
Many teachers take a direct approach to this task, teaching students a
set
of general problem-solving skills, then transferring these skills to a variety
of
problems”.
(mengajarkan keterampilan pemecahan masalah adalah bagian penting
deskripsi
tugas guru matematika. Banyak guru mengambil pendekatan langsung
dengan
mengajarkan sekumpulan keterampilan umum dalam pemecahan masalah,
lalu
menerapkan keterampilan tersebut pada berbagai masalah).
K.
Kembangkanlah Sisi Afektif Pembelajaran
Seringkali
kegagalan pembelajaran matematika lebih-lebih dengan pendekatan
problem
solving, bersumber pada aspek afeksi siswa yang
rendah. Karena itu,
perhatian pada
motivasi, rasa percaya diri, kegigihan, fleksibilitas, dan sikap berani
mengambil
resiko, perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika.
“Many affective
issues affect a student's ability to apply his or her skills and knowledge in
these
situations. These include: Motivation, Confidence, Perseverance, Flexibility,
and
Risk-taking behavior.“ (banyak aspek-aspek afeksi berpengaruh
pada
kemampuan
siswa untuk menerapkan keterampilan dan pengetahuannya pada
situasi
tersebut. Aspek-aspek tersebut meliputi: motivasi, kepercayaan diri,
kegigihan, fleksibilitas, dan
sikap berani mengambil resiko) (Janzen, 2007).
L.
Ubahlah Paradigma Berpikir Kita ke Cara Pandang Problem
solving
Salah satu
langkah terbesar untuk sukses dalam pembelajaran problem
solving
adalah dengan
mengubah paradigma berpikir (cara pandang) kita mengenai
matematika dan
pembelajarannya.
Mengapa ini perlu? Oleh karena bila kita berpandangan
matematika hanya sebagai sekumpulan fakta dan rumus, maka kita cenderung
melakukan pembelajaran yang pasif dan satu arah. Sudah banyak
penelitian
yang menunjukkan bahwa cara pandang guru terhadap matematika
memiliki
pengaruh yang kuat terhadap cara ia mengajarkannya.
“A
teacher’s approach
to teaching mathematics reflects her beliefs about what mathematics is
as
a discipline” (pendekatan guru untuk mengajarkan
matematika mencerminkan
kepercayaan/anggapannya
tentang apa itu matematika sebagai disiplin ilmu) (Hersh
(1986) dalam
McIntosh & Jarret, 2000: 13).
Perubahan cara
pandang ini telah ditegaskan oleh Dirkes (dalam McIntosh &
Jarret,
2000:13),
A
problem-solving approach to teaching mathematics helps
broaden
students’ perception of mathematics from a rule- and
fact-based
discipline to one that involves inquiry, uncertainty, and
creativity.
But first, the teacher must make his own paradigm
shift,....
(pendekatan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika
membantu memperluas persepsi siswa tentang
matematika
dari disiplin ilmu yang berdasar aturan dan fakta
menuju
disiplin ilmu yang memuat penemuan,
ketidakpastian/ketidakkakuan,
dan kreativitas. Namun pertamatama,
guru harus
melakukan pergeseran paradigmanya terlebih
dulu... ).
Lebih dari
itu, bagaimana kita memiliki pandangan dan sikap positif terhadap
masalah
matematika dan pemecahannya akan menjadi model yang banyak ditiru
oleh para
siswa.
“Be aware of your own attitudes toward
mathematics and model a
positive
approach to problem solving” (Siaga dengan sikap kita
terhadap
matematika dan
menjadi model pendekatan positif terhadap pemecahan masalah)
demikian
dinyatakan oleh Janzen (2007).
Karena itu, mulailah membiasakan diri dengan “penemuan”
dan “kreativitas”, ajak siswa untuk belajar matematika seperti mereka
menemukan sesuatu yang hilang, biasakan cara berpikir untuk selalu bertanya dan
berusaha menemukan cara lain, jawaban lain, atau soal lain. Semua
ini memberi
nuansa bahwa matematika tidaklah kaku.
M.
Berilah Penekanan pada Proses, Bukan pada Hasil
“Emphasize
the process, not the solution” (tekankan pada
proses, bukan pada
jawaban akhir)
(Janzen, 2007). Barangkali telah menjadi kebiasaan kita menjadi
terfokus pada
jawaban akhir sebuah soal.
Kebiasaan kita membuat soal dengan pilihan
jawaban sedikit banyak telah mendorong kita untuk menilai keberhasilan siswa hanya
pada aspek jawaban akhir saja, namun ini bertentangan dengan tujuan
pembelajaran problem
solving.
Mulailah
sekarang untuk membiasakan diri melihat pada proses pemecahan
masalah bukan
pada hasil akhir. Dengan cara ini, kita dapat mengetahui apakah
siswa telah
benar-benar memahami masalah (dan konsep matematika yang terkait)
ataukah tidak.
“a problem is not necessarily solved because the correct answer
has
been
made. A problem is not truly solved unless the learner understands what he
has
done and knows why his actions were appropriate.”
(sebuah masalah tidak
(dikatakan)
selesai karena jawaban benar telah diperoleh. Sebuah masalah selesai
dengan
sebenarnya bila siswa memahami apa yang ia lakukan dan mengetahui
mengapa yang
dilakukannya cocok/sesuai) (William A. Brownell dalam bukunya
The
Measurement of Understanding yang dikutip McIntosh
& Jarret, 2000:4).
N.
Setelah Menyelesaikan Masalah, Mintalah Siswa untuk Merefleksi
Kesalahan
terbesar kita kadang dilakukan tanpa sadar, bahwa bila suatu
masalah telah
ditemukan pemecahan atau jawabannya maka berakhirlah sudah
segalanya.
Padahal dalam perspektif pemecahan masalah, banyak yang harus
dipikirkan
setelah masalah terpecahkan. Tanyakan kepada siswa, apakah ada soal
lain yang
mirip? Apakah strategi yang telah diterapkan menjadi pengetahuan baru?
Strategi apa
lagi yang dapat dicoba? Adakah kemungkinan jawaban lain? Menurut
Shoenfeld
seperti yang dikutip McIntosh & Jarret (2000:15) ciri utama yang
membedakan antara pemecah masalah
yang berkemampuan tinggi dengan yang
P.
Kenalilah Cara Penilaian Soal Pemecahan Masalah
Pemahaman kita
akan cara penilaian soal pemecahan masalah, dapat
membimbing
kita mengarahkan (memfasilitasi) siswa menyelesaikan masalah.
Selain itu,
yang jelas, agar kita tidak keliru menilai kemampuan memecahkan
masalah.
Umumnya kita
membedakan ada dua macam cara penilaian pemecahan
masalah, yaitu
secara holistik dan secara analitik (Emenaker, 1999:117).
Pembedaan
penilaian ini didasarkan pembedaaan cara penyekoran. Penyekoran
secara
holistik didasarkan pada beberapa kelompok besar kemampuan
memecahkan
masalah, sementara penyekoran secara analitik berdasarkan rincian
aspek-aspek
kemampuan.
Beberapa aspek
yang dapat dinilai dalam pemecahan masalah, antara lain:
pemahaman
masalah, strategi penyelesaian, penjelasan atau eksplanasi,
argumentasi
langkah, penarikan kesimpulan atau jawaban, penggunaan simbol
matematika,
manipulasi aljabar atau hitungan bilangan, dan bahasa tulis.
Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas berikut ini contoh penyekoran
secara holistik dan contoh
penyekoran secara analitik.
Source:
Sumardyono,
M.Pd. Kepala Unit Litbang atau R&D pada Pusat Pengembangan dan
Pemberdayaan
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika (PPPPTK
Matematika).
Kandidat Doktor Matematika dari UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar